Tak Berkategori

Dear Pengangguran

Pengangguran. Ah! Jujur! Mendengarnya saja aku tak sudi. Iya! Aku muak! Tapi mengapa aku menuliskan kata-kata yang memuakkan itu di postingan pertama ini? Alasannya cukup sederhana; karena tidak semua manusia suka hujan.

Loh! Apa hubungannya dengan hujan?

Tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang tidak ada hubungannya, tergantung pada setiap personality yang memandangnya. Pengangguran memiliki kaitan dengan hujan. Hujan sangat pas dengan sifat manusia pengangguran. Kenapa? Ya, karena dengan hujan ada alasan terampuh bagi mereka untuk tidak melakukan aktifitas apapun.

Lalu, apakah di tulisan pertamaku ini akan menghakimi pengangguran Indonesia yang berjumlah 7 juta jiwa (seperti dikutip dari pikiran-rakyat.com, 26 Maret 2018 lalu)?

Oh tidak! Aku ingin memberikan sedikit pandangan agar mereka lepas menjadi tali pengangguran yang mengikat erat.

Caranya?  Yuk simak secara perlahan. Karena menurut data Kemenristek Dikti, 8,8 % (persen) dari penganguran adalah sarjana.

Pertama, Apa hal yang membuat mereka menjadi pengangguran? Coba lihat hasil survey Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016. Ada 8 dari 10 perusahaan di Indonesia yang kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri (seperti dilansir dari vice.com).

Waw! “Apakah ini prestasi atau tragedi,” kata Mata Najwa di salah satu stasiun televisi. Mbak Nana. Bukan keduanya, tapi ini reality yang harus kita minimalis demi meningkatnya IPM dalam negeri.

Di sisi lain, berbagai pihak saling menyalahkan demi membela diri. Perguruan Tinggi bersikeras mengatakan bahwa mutu pendidikan yang diterapkan untuk mencapai visi dan misi sudah diaktualisasikan sejak dini. Pemerintah pun menyediakan layanan untuk penyerapan tenaga kerja untuk dipekerjakan baik di dalam maupun di dalam negeri. Sedengakan perusahaan di dalam negeri menginginkan karyawan yang memiliki integritas dan kualitas yang sangat tinggi.

Sementara Asosiasi Perguruan Tinggi (Aptisi) di tahun 2017 lalu menuding pemerintah terlalu mudah memberikan izin pendirian perguruan tinggi. Sedangkan pengangguran, semakin merajalela di negeri ini, layaknya jamur yang bersemi setelah hujan mengguyur bumi (seperti dilansir vice.com).

Lalu. Apakah fenomena ini dibiarkan begitu saja tanpa ada lampu merah yang menyuruh mereka untuk berhenti? Sial! Pengangguran memang persoalan purba. Mana mungkin bisa diselesaikan dalam sekejap mata.

Kedua, bagaimana agar mereka mendapatkan pekerjaan yang layak? Nah. Ini harus dikembalikan kepada si penganggur tadi. Contohnya saya, lulus sidang pada bulan Mei 2015 lalu—wisuda 19 September 2015. Setelah lulus sidang dan menyelesaikan revisi, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Antara magrib—isya saya mengajar mengaji. Awalnya hanya 5 murid saja—sekarang 27 murid. Di sore hari sekitar jam 17.00 saya memasang jaring ikan di sungai, jam 21.00 dan 06.00 saya melihat jaring apakah ada ikan yang terperangkap. Jika ada akan dijadikan gulai atau lauk, andai berlebih akan saya jual. Selain menambah gizi, bisa juga menambah penghasilan. 1 kilo gram ikan saya jual Rp. 40.000,- (empat puluh ribu rupiah).

Lalu di pagi hari, rutinitas kuperpadat. Kebetulan, ada pabrik kepala sawit berdiri mengapit kampung yang saya tinggali. Abu boiler dan limbahnya saya jadikan pupuk untuk menyuburkan tanah gersang di kampung ini. Saya mulai menggeluti sayur-mayur; kangkung, bayam dan timun.

Alhadulillah! hanya bermodalkan coba-coba dan yakin, akhirnya membuahkan hasil. Rata-rata untuk penghasilan dari menangkap ikan setiap harinya sekitar Rp. 60.000,- sampai Rp. 250.000,- sedangkan penghasilan sayur-mayur setiap harinya bisa menghasilkan Rp. 25.000,- hingga Rp. 50.000,-. Jika dikalkulasikan, selama satu bulan saya bisa menghasilkan uang sebesar Rp. 2.550.000 hingga Rp. 3.000.000,-.

Note: Saya lulusan sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan IPK 3.81. lulus sebagai mahasiswa lulusan terbaik. Mungkin kalian kira saya bergurau? Iya, kan? Sama sekali tidak. Jujur, saya bukan tipe pembohong. Camkan itu! Saudara-saudariku.

Pertanyaannya mungkin lebih mendalam lagi, dan ini sangat sering saya dengar sebelum saya mendapatkan pekerjaan yang layak. Seperti ini bunyinya;

  1. Apakah kamu tidak ingin bekerja di kantor?
  2. Kamu, kan sarjana pendidikan, kenapa tidak mengabdi sebagai guru? Atau yang paling sadis,
  3. Kamu kuliah mati-matian selama 5 tahun, lulus dengan nilai sangat memuaskan, lalu pekerjaan menanam sayur-mayur dan pencari ikan. Apa kamu tidak malu? Yang tidak pernah memakan bangku sekolah saja, bisa.

 

Ok! Aku jawab satu persatu.

  1. Aku ingin bekerja di kantor, sangat ingin. Tetapi saya memiliki point of view yang berbeda mengenai kantor. Bagiku, kantor membutuhkan orang-orang yang professional, memiliki loyalitas yang tinggi dan jujur dalam menjalankan tugas. Saya memiliki itu, tetapi perlu saya tegaskan bahwa sampai saat tulisan ini dipublish status di KTP sudah menjadi Karyawan Honorer. Saya diterima menjadi Pendamping Sosial PKH Kementrian Sosial Republik Indonesia sebelum saya menggunakan toga.
  2. Setelah lulus sidang pada Mei 2018. Saya coba cari informasi dengan teman sejawat yang sudah mengajar terlebih dahulu. Mereka berkata “Biarlah kami yang mengajar dengan memakan gaji, Rp.300.000,-Rp.750.000,- per bulan—kamu jangan!” jujur saya akui. saya bukan termasuk dalam golongan ekonomi menengah ke atas. Jadi saya berpikir lebih baik bersabar sembari mencari informasi bukan menunggu info lowongan pekerjaan.
  3. Selama menghasilkan yang halal dan itu dari keringatku sendiri. Mengapa harus malu? Saya lebih malu jika saya menghasilkan uang dengan tipu-menipu, korupsi dan berjudi. Biarlah aku dianggap kuli, tetapi rejeki yang kudapatkan halal dan diridhoi ilahi robbi. Itu prinsipku hingga saat ini.

  

Ketiga, point ke dua belum relevan dengan kondisi sosial, budaya dan geografis penganggur. Apa yang harus mereka lakukan?

Ini point terakhir, jika belum berhasil menurunkan pengangguran di Indonesia saya mohon maaf. Begini, ada banyak pekerjaan yang bisa kamu lakukan demi menutupi status sosialmu sebagai kaum intelektual, maupun pengangguran dengan pendidikan SMP-SMA sederajat. Sekarang ini sudah banyak program-program pemerintah yang menginginkan kamu sebagai orang yang menempati kedudukan sebagai penganggur. Ambil peluangnya, buktikan jika kamu bisa melakukan di luar zona nyamanmu.

Hilangkan gengsi, buatlah hidupmu berarti. Bukankah hidup hanya sekali, wisdom life itu bisa didapatkan jika kamu memulainya dari sekarang bukan menunggu timing. Nikmati prosesnya, jangan sampai kamu nyaman dengan predikat pengangguran. Itu aib. Sebetul-betul aib.

Coba lihat dirimu di cermin, lalu tanyakan pada dirimu;

  1. Apa sebenarnya tujuanmu?
  2. Apa mimpi dan cita-citamu?
  3. Untuk apa kamu hidup?
  4. Sudah seberapa bermanfaat aku bagi makhluk sekitar?
  5. Apakah aku sampah?

Lalu jawab pertanyaan di atas dan yakin bahwa setiap perjalanan selalu ada asam-manisnya.

Akhir kata. Merdekalah wahai kaum pengangguran! Merdeka! Merdeka! Merdeka!

 

Referensi:

www.pikiran-rakyat.com

www.vice.com

www.ristek.go.id

sumber gambar:

www.merahputih.com

Tinggalkan komentar